Oleh: Rovicky | Mei 27, 2007

Perusahaan memerlukan semuanya


profesi-2.gifAku tertarik menanggapi sebuah tulisan dalam mailist yang sisinya keluhan tentang amburadulnya seorang insinyur dibandingkan dengan lulusan ST. Seorang insinyur memang kagak bisa pegang obeng maupun palu, tapi harus piawai memegang mouse.

Ternyata mulut itu lebih mahal ketimbang otak, yang paling murah itu tangan ! 

Ikuti opini sederhana dibawah saja :

Pak RWD menulis

On 5/22/07, R wd xxxx .com> wrote:
>
> Dear All,
>
> Saya sekedar mengingatkan beratnya tantangan bagi fresh grad yang terpaksa
> memilih bekerja pada posisi / level di bawah kualifikasinya, khususnya di
> organisasi yang memerlukan teamwork.
>
> Dalam situasi-lingkungan kerja tsb., banyak insinyur teknik fresh grad,
> walau tamatan perguruan tinggi terbaik dengan nilai tidak memalukan, sulit
> bersaing dengan mis. teknisi berkualifikasi STM.

Menarik ulasan Mas Rawindra di atas ini. Terutama menyoroti kinerja insinyur lulusan universitas dibanding kinerja tehnisi lulusan STM. Memang seringkali dalam level bekerja para insiyur ini “plegak-pleguk”, dan “grothal-gratul” ketika memegang obeng. Padahal partner kerja sebelahnya yang hanya lulusan STM sangat tangkas memainkan obeng dan palu.

Kalau kinerja seperti itu yang dikeluhkan Mas Rawindra tentusaja insinyur ini akan ambyar dan nglemprek kagak ada nilainya. Pendapat seperti ini selalu saja ada dalam tingkat atau level apapun. Bahwa yang dimaksud dengan kinerja adalah “hasil fisik” riil yang terlihat kasat mata. Pemikiran insinyur memang sulit dilihat dengan mata biasa.

Contoh yg agak sensiti adalah ketika membandingkan kinerja bule mbelgedez bergaji dolar. Saya sering menjumpai seorang bule ada yang kerjanya hanya ngomong karena dia bertipe pemikir. Malah kerjanya ngritik mlulu, namun kerjaannya belum tentu beres juga. Seringkali bule ini mundur-mundur deadline-nya. Sedangkan disebelahnya pekerja Indonesia (ini level engineer looh) seringkali berpikir untuk menyampaikan hasil kerja yang secara kasat mata terlihat. Membuat peta, membuat lead dan prospek, membuat program drilling, membuat program pipanisasi dengan cermat dan tepat waktu. Sedangkan si bule seringkali berpikir didepannya hanya mencontek … iya mencontak data teknis yg dibuat pegawe nasional. Ini sering terjadi sehingga si bule mbelgedez terlihat” sedangkan si nasional ini tetep saja nggethu mengerjakan kerjaan tehnis.

Akhirnya sering kali pegawe nasional ini komplen, “tuh si mbelgedez ngga ngapa-ngapain dapet nama kita yg “kerja mati-matian” malah dilupakan”. Manajer bule yg menilainya akhirnya dapet tuduhan tidak adil, dan ngga fair. Apalagi ketika dihubungkan dengan gaji lokal vs expat. Penilaian kinerja jadi ambyar. Soal gaji kesampingkan dulu ya. Ini kita bicara kinerja dulu aja.

Inti cerita, kita sering menilai kinerja hanya dari sisi “yang terlihat sebagai produk” kita tidak menilai sebagai aggregat yg dipakai oleh perusahaan. Mental kita terbentuk, entah sejak kapan, akan melihat kinerja hanya dari produk fisik. Pekerja level operator dibawah, jelas akan melihat kinerja koleganya disisi fisik itu. Ketika
menjadi supervisor juga akan begitu. Namun mental melihat kinerja hanya sisi fisik memegang obeng, memegang palu dan membuat laporan seringkali terbawa si pekerja ketika sudah sampai “diatas”, jadi manajer. Dan di level manajemenpun tidak lepas dari cara menilai ini. Keluhan Pak Rawindra ini jelas sekali terlihat karena beliau sebagai manajer lapangan. Menilai dan membandingkan kinerja insiyur dilapangan dengan operator lulusan STM, ini jelas tidak mudah, dan jelas semestinya bukan sekedar melihat bagaimana trouble shoot dilakukan.

Apakah kerjaan fisik operator tidak diperlukan, ataukah berpikir sebagai “thinker” itu lebih baik?. Jelas bukan !!. Perusahaan memerlukan itu semua. Perusahaan menginginkan operator dan pemikir. Perlu diketahui sayangnya nilai pemikir selalu lebih tinggi ketimbang pekerja. Namun ada yg lebih lagi, penyampai pemikiran lebih tinggi dibanding si pemikir itu sendiri. Dunia memang begitu menilainya. Mau protes ya silahkan saja. Lah wong “rule of the game” hidup disekitar kita memang lebih menghargai pemikir ketimbang pekerja je. Coba tengok dalam sistem HAY point. Pemikir itu nilainya lebih tinggi ketimbang pekerja fisik.
Kalau mau maju ya harus mengerti bagaimana memegang obeng dan juga bagaimana menggunakan obengnya secara lebih efisien. Dan lebih penting lagi. Bagaimana meyampaikan supaya teori memegang obeng itu dimengerti oleh orang lain.

Salah sorang kolega saya yg sebagai thinker di ARCO dulu, namanya “Henry Posamentier” merupakan pemikir handal dalam ilmu geologi. Menurut kolega sekantor di ARCO dulu, beliau tidak pernah bisa membuat laporan program kerja atau bahkan membuat petapun ngga pernah selesei. Tetapi harga pemikirannya justru dihargai tinggi dalam keilmuan geologi. Tau ndak apa kata kawan-kawan sekelilingnya. “Ah dia sih ngga pernah neyeleseikan tugasnya. Kerja ini ndak beres, kerja itu ndak becus”. Tapi mengapa HP bisa dinilai bagus padahal laporan hasil kerjanya “ngga ada” (tidak terlihat kasat mata). Menurut saya karena setiap jenis orang diperlukan dalam perusahaan. Menempatkan orang-orang inilah yang perlu diketahui dan dilakukan seorang HR manajer. Place the right man in the right place.

Hef e nais whik en


Tanggapan

  1. Insinyur itu separo ilmuwan,separo praktisi, jadi harus dibiasakan berpikir dulu sebelum bertindak, technical know-how nya diperoleh seiring berjalannya pengalaman kerja dibidangnya. Jadi untuk insinyur fresh grad mesti diberi latihan dulu sebagai on the job trainning.Makin lama mereka bekerja, pasti kemampuan teknik trouble shooting pada pekerjaan yang digelutinya makin handal, bahkan kemampuan manajerialnya pun ikut berkembang sehingga berkat pengalamannya mereka mampu menjadi pengambil keputusan yang tepat.
    Berbeda dengan teknisi STM, umumnya atau kebanyakan mereka bekerja berdasar “apalan” dan berhubung bekal ilmunya masih pada tataran intermediate, belum advance, maka daya analisnyapun masih kalah dibanding dengan insinyur dengan pengalaman kerja dalam jumlah tahun yang sama. Kebanyakan insinyur berpengalaman mampu memprediksi dengan feelingnya akan akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan teknis.Sedang lulusan STM sangat sedikit yang mampu berpikir kearah itu, mereka senantiasa memerlukan supervisor, alias tidak dapat dilepas dalam setiap pekerjaan teknis.Memang dalam beberapa kasus ada insinyur tindakan atau keputusannya menimbulkan kecelakaan.Namun hal tersebut lebih disebabkan karena sifat sembrononya, bukan karena kemampuan daya nalarnya.Tapi yang bahaya adalah sdm lulusan STM berpengalaman yang mendapat sedikit tambahan pengetahuan, tetapi sudah merasa menguasai teknik melebihi insinyur muda di bidang kerjanya.Biasanya sdm seperti ini ngeyelan di lapangan. Sdm seperti inilah yang berpotensi menimbulkan kerusakan alat atau kecelakaan kerja.
    Btw, yang menyedihkan adalah penempatan insinyur di pemerintahan sebagai birokrat.Banyak yang menduduki jabatan tidak sesuai dengan keinsinyurannya. Bahkan di Kodya Yogyakarta, dua tiga tahun yang lalu pernah seorang Insinyur SIPIL menjadi Kepala Kantor Catatan SIPIL yang mengurusi akta kelahiran,akta kematian dan akta perkawinan. Dalam akte, sesuai hukum yang berlaku, nama gelar pejabat yang tanda tangan tidak disingkat, sehingga jelas gelar pejabat pembuat aktenya adalah INSINYUR (tidak disingkat Ir),walau produknya gak ada sama sekali kaitannya dengan teknik.
    Jan, the right education on the right place tenan. Apa karena klasifikasi pekerjaannya sangat GAMPANG atau SIPIL hingga siapa saja bisa ditempatkan disana pak dhe ?


Tinggalkan Balasan ke ompapang Batalkan balasan

Kategori